Communication

  • 0

Katanya komunikasi itu penting. 
Saat anak berada ratus ribuan meter dari orang tuanya, bagaimana cara agar orang tua tahu perkembangan si anak gadis, yang katanya, menjaga anak gadis lebih sulit daripada menjaga harta. Apakah sang gadis sehat2 saja, lancarkah kuliahnya, apakah ada masalah, apakah sudah sholat, mengapa belum khatam? Katanya kuncinya adalah komunikasi. Di zaman serba cepat saat ini, alat komunikasi bukan lagi suatu gadget yang sulit untuk didapatkan. Tapi mengapa masi sulit mengerti satu sama lain?  Mengapa satu hal sepele dapat menjadi besar? Saat hp sang gadis berdering, biiip..bibiiip. “Mama” . Isinya menanyakan “bagaimana kabarmu anakku?” Saat itu sang gadis sedang sibuk mendengarkan materi kuliah oleh dosennya. Berniat akan segara membalasnya ketika sesi ini berakhir. Namun ketika kuliah berakhir, ternyata sang dosen memberikan tugas untuk segera dikumpulkan hari ini juga. SMS itu pun terlupa. Saat malam, baru sang gadis teringat SMS ibunya. “Alhamdulillah sehat ma, mama?” Lama. Tak ada balasan. Mungkin ibunya telah lebih dulu terlelap karena lelah dengan rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga, padahal sebenarnya siang itu-saat sang gadis berada dikelasnya- ada sangat banyak hal  yang ingin ibu ceritakan padanya. Yang (mungkin) menurutnya masalah wanita akan lebih seru jika diceritakan kepada anak gadisnya yang lebih dewasa (menurutnya) daripada anak gadis satunya ataupun anak bujangnya. Mungkin ini yang namanya komunikasi satu arah. Ada aksi tapi tak ada respon. Mungkin kuncinya adalah niat. Niatnya  yang perlu diluruskan.  Niat untuk tetap menjaga hubungan baik.
Katanya komunikasi itu kunci lancarnya hubungan kasih antara dua insan yang saling jatuh cinta, yang pada awalnya telah berkomitmen untuk saling mensupport satu sama lain. Saat masing-masing sibuk dengan aktivitasnya satu sama lain, bisa saja ada banyak hal yang ditemui oleh masing-masingnya. Senang-sedih bisa selalu datang silih berganti. Itu biasa. Saat sang gadis bercerita antusias, sang bujang sedang tak tertarik untuk mendengarkan karena (mungkin) ada hal lain yang ia pikirkan. Saat sang bujang ingin bercerita pengalamannya bertemu dengan macam-macam perangai orang, sang gadis hanya diam mendengarkan, tanpa kata, karena badan yang sedang tidak sehat, namun tak terkatakan pada sang bujang. Ada banyak cerita cinta. Namun, cerita cinta yang ingin kutulis nanti, (kuharap) bukanlah cerita cinta biasa.  Mungkin solusinya adalah menjaga kualitas komunikasi, bukan pada masalah kuantitas.

Katanya* manusia adalah makhluk sosial.
Tidak bisa hidup tanpa orang lain. Apalagi di zaman Social Network sekarang ini. Ya, paling tidak sekedar share dengan sahabat lama yang telah lama tak bersua mata, menanyakan kabar, atau bahkan terkadang masi ada yang menanyakan dimana kuliah dan jurusan apa. Saat social network menjadi pilihan, sepertinya bukan juga solusi yang benar2 tepat. Ia bisa mendekatkan yang jauh bisa juga menjauhkan yang dekat. Sulit mendeteksi mana yang benar-benar tulus mana yang berniat pamer. Ada banyak yang datang hanya sekedar mampir tanpa meninggalkan jejak. Namun, ada satu yang berbeda. Ada satu sahabat, yang punya cara berbeda. Selalu datang dengan pesan-pesan singkat, namun bermakna. “Semangat, friends” “Ohayo gozaimasu” “Good Luck, my bestfriends”. Sepertinya dengan cara ini ia menunjukkan keberadaan dirinya. Mungkin solusinya adalah kembali pada tujuan dari fasilitas itu diciptakan.

Jadi, benarkah intinya memang pada komunikasi? Komunikasi yang bagaimana? 
Somebody, tell me. Pliissssss..

-nya * refers to Aristoteles
-nya lainnya refers to ???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar